Selasa, 12 Agustus 2014



Iman dan amal saleh:
 adalah unsur kesempurnaan manusia. Ketika seseorang memiliki iman yang kuat—dengan dasar ilmu yang benar dan lurus—dan kuat pula amalnya, dia pun menjadi insan kamil(manusia seutuhnya), sempurna sifat kemanusiaannya. Akan tetapi, dia belum menjadi seorang rabbaniyang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya,
كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
 “Jadilah kalian para rabbani, dengan sebab kalian selalu mengajarkan al-Kitab dan dengan sebab kalian terus mempelajarinya.” (Ali ‘Imran: 79)
sampai melakukan dua sifat lainnya. Oleh karena itu, pada edisi ini, biidznillah, kami akan menjelaskan dua hal tersebut, yaitu dakwah di jalan Allah dan sabar.
3. Dakwah di Jalan Allah
Dakwah di jalan-Nya adalah mengajak manusia kepada seluruh syariat Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dakwah di jalan Allah adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang paling agung, berdasarkan perintah Allah,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
 “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan keterkaitan yang sangat erat antara dakwah dan keberuntungan. Allah menjadikan para pelaku dakwah yang mengajak manusia ke jalan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Berdasarkan ayat ini pula kita ketahui bahwa dakwah hukumnya fardhu kifayah. Artinya, apabila telah ada sebagian kaum muslimin yang menjalankannya dan keberadaan mereka dalam dakwah tersebut sudah cukup, gugurlah kewajiban dakwah dari muslimin lainnya.
Barang siapa memerhatikan kondisi kaum muslimin saat ini, dia akan mendapati bahwa tidak setiap muslim mengetahui agamanya dan menjalankan apa yang telah diketahuinya. Jika demikian keadaannya, ketahuilah, dakwah ini memang bukan kewajiban setiap individu muslim atau sembarang muslim. Benar, setiap muslim berkewajiban menyampaikan urusan agama yang telah diketahuinya, berdasarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. al-Bukhari)
Akan tetapi, kewajiban berdakwah dalam bentuk tulisan, ceramah di mimbar-mimbar, kajian ilmiah dengan menelaah sebuah kitab, daurah, dan yang semisalnya, semua ini hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang khusus dari kaum muslimin, yaitu para ulama dan penuntut ilmu. Makna inilah yang diinginkan dari kata dakwah, berdasarkan firman Allah,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
 “Katakanlah, ‘Inilah jalanku, yang aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah di atas bashirah. Mahasuci Allah, dan aku tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
Jadi, di antara syarat berdakwah di jalan Allah adalah di atas bashirah. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kata bashirah mengandung tiga hal yang harus terkumpul pada diri seorang dai, yaitu (1) berilmu tentang hukum-hukum syariat, (2) mengetahui metode berdakwah, dan (3) memahami kondisi orang-orang yang didakwahi. (Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah)
Dakwah di jalan Allah memiliki beberapa metode sesuai dengan kondisi orang yang didakwahi. Allah telah menjelaskan metode tersebut dalam firman-Nya,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) ke jalan Rabb-mu dengan hikmah dan dengan wejangan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (an-Nahl: 125)
Metode pertama dalam dakwah adalah bil hikmah (dengan hikmah). Artinya, berdakwah sesuai dengan kondisi, daya tangkap, dan kadar ketundukan orang yang didakwahi. Di antara hikmah adalah berdakwah dengan ilmu, bukan dengan kebodohan; memulai dengan urusan yang paling penting; menyampaikan dengan bahasa yang paling mudah dicerna, pada hal-hal yang paling mudah dipahami sehingga lebih mudah diterima, dan dengan cara lemah lembut.
Jika dakwah dengan metode ini diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, seorang dai beralih ke metode kedua, yaitu al-mau’izhah al-hasanah (wejangan yang baik). Metode ini dilakukan dengan menyebutkan perintah dan larangan yang diiringi oleh dorongan dan ancaman. Terkait dengan perintah—misalnya—disebutkan berbagai kemaslahatan yang terdapat di dalamnya, pahala menjalankan perintah tersebut, dan pemuliaan Allah terhadap siapa saja yang menaati perintah-Nya. Terkait dengan larangan—misalnya—disebutkan berbagai kerusakan yang timbul karenanya, dahsyatnya siksa bagi yang melanggarnya, dan kehinaan yang ditimpakan oleh Allah kepada siapa saja yang mendurhakai-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar